(Oleh : Qasimil Junaidi)
Aceh adalah
daerah yang berada diujung pulau sumatera Indonesia, aceh merupakan daerah yang
dikenal dengan sebutan negeri serambi mekkah yang memiliki nilai agama dan
budaya yang kuat dari zaman dahulu.
Menurut data
yang dihimpun oleh Center for Information Samudera Pasah Heritage (CISAH) Aceh
merupakan kerajaan islam tertua diwilayah Asia Tenggara, samudeara pasai adalah
kerajaan islam pertama yang telah dimulai separuh abad ke 7 H / 13 M silam.
Adat dan agama
bagi rakyat aceh adalah hal yang tidak dapat dipisahkan layaknya sifat dan zat (Adat ngon agama lagee zat ngon sifeut),
yang selalu berketerkaitan satu sama lain. Maka setiap adat yang dilaksanakan
selalu disertai doa dan puji-pujian yang dilantunkan kepada sang Khaliq dan
Nabi.
Adat bak po teumeuruhom, hukom bak syiah
kuala, qanun bak putroe phang, reusam bak laksamana. (Adat Pada Po
Teumeuruhom, Hukum Pada Syiah Kuala, Undang-Undang Pada Puteri Pahang, Reusam
Pada Laksamana) Adat Aceh sudah ada pada masa Sultan Iskandar Muda yang
kemudian diturunkan turun temurun sampai saat ini. Namun sangat disayangkan
kepedulian masyarakat dan remaja akan Adat dan Budaya Aceh mulai memudar
dimakan masa.
Dewasa ini kita
melihat bagaimana kondisi remaja yang mulai lupa tentang adat dan bahkan tidak
tahu sama sekali adat dan budaya daerahnya sendiri. Banyak remaja yang
tidak tahu makna Peusijuek, dan mengatakan Ayon
Rateb cara menidurkan bayi secara tradisional tidak modern, dan hal yag
paling disayangkan penggunaan Bahasa Aceh pun mulai tidak lagi digunakan dalam
bahasa sehari-hari dengan alasan tidak gaul dan malu disaat berada dalam
pergaulan.
Kondisi di
eraglobalisasi ini menjadikan remaja-remaja Aceh menanggalkan adat yang ada dan
secara sadar maupun tidak mengikuti budaya-budaya luar, seperti budaya korea
pada remaja wanita mulai dari pakaian, makanan, berbicara, dan tingkahlaku,
yang secara pelan-pelan terkikis nya budaya Aceh yang sewaktu-waktu mulai
hilang.
Kondisi remaja
yang enggan dan acuh terhadap budaya sendiri menjadikan negeri ini kehilangan
identitas dan jati diri bangsa. Sejatinya peran remaja sangat penting dalam
menjaga budaya dan kearifan lokal yang ada, karena remaja merupakan generasi
penerus bangsa kedepan nantinya.
Melihat kondisi
dahulu mengapa adat dan budaya begitu melekat dan dijaga karena adat merupakan
suatu landasan dalam kehidupan bermasyarakat, Meunyoe bak peutimang adat lampoh jeurat tapeugala, (kalau untuk menjaga Adat, tanah kuburan pun
digadaikan) hal ini bukan bermakna adat lebih berharga dari jenazah yang berada
dalam kuburan, tetapi begitu pentingnya adat untuk dijaga dilestarikan dan
dijunjung tinggi dalam kehidupan sosial sehingga berkorban adalah sangat
diharuskan untuk melestarikan adat dan budaya supaya teratur dan kebersahajaan
melekat dalam jiwa anak bangsa.
Seyogyanya
remaja Aceh mulai kembali mempelajari adat aceh guna menjadi penerus yang tidak
kehilangan jatidiri bangsa, hal yang dapat dilakukan sekurang-kurangnya adalah
tetap berbicara dengan bahasa ibu yaitu bahasa Aceh dengan masyarakat lokal
terutama dengan teman sebaya, dan apabila ada yang tidak bisa berbahasa aceh
maka secara pelan-pelan mengajak berbahasa aceh sehingga bahasa yang disebut
jatidiri bangsa tidak akan luput dimakan zaman.
Dewasa ini
sangat banyak remaja Aceh yang tidak bisa menulis bahasa Aceh dengan baik dan
benar karena ketidaktahuan dan ketidakmahuan untuk belajar, dan juga kurangnya
perhatian pemerintah untuk melestarikan budaya dan bahasa daerah maka tak ayal
kalau beberapa tahun kedepan bisa jadi bahasa Aceh tidak lagi pernah terdengar
apalagi terucap dibibir remaja Aceh.
Remaja harus
kembali melihat dan mempelajari sejarah, bagaimana mental orang zaman dahulu
yang kuat, gagah, berani, pandai, bijak, dan menjunjung tinggi moralitas yang
ada. Bukan menjadi remaja yang lemah, galau, penakut, kurang terampil, dan
licik jangan malu dianggap kurang pergaulan, tapi malu lah kalau kurang ilmu
pengetahuan. Bagaimana laskar perang Aceh yang tidak hanya dari kaum lelaki
saja. Cut Nyak Dhien, Cut Nyak Meutia yang gagah berani mati melawan penjajah
melindungi tanah air, menjaga marwah bangsa dan agama, Remaja Aceh harus
memiliki mental pejuang wanita ini, jangan menjadi wanita yang lemah menangis
hanya karena diputusin pacar, tapi menangislah ketika kita kalah dalam bidang
ilmu pengetahuan, kalah dalam kegiatan positif lainnya.
Pada masa
penjajahan Belanda, orang Aceh di juluki dengan sebutan Aceh Pungo ( Aceh Gila)
bagaimana tidak, dengan sebilah rencong berani menyerang pos belanda dikala itu
yang mengakibatkan banyak serdadu meninggal. Orang Aceh memang gila, gila dalam
berperang, gila dalam mempertahan harkat dan martabat, maka sejatinya remaja
Aceh khususnya remaja Indonesia umumnya sekarang juga harus gila, gila dalam
berbuat positif, gila dalam mencari ilmu, gila dalam berkreasi, gila menggali
potensi diri, juga gila mengkampanyekan hidup sehat terbebas Napza, Seks
Bebas, HIV/AIDS, dan perilaku menyimpang
lainnya.
Sudah saatnya
kita menjadi remaja yang menjadi panutan masyarakat, kebanggaan bangsa dan
Negara, jangan hanya bisa selfie ditempat wisata, check in di sosial media,
tapi jadilah sebenar-benar penerus bangsa. Rencanakan kehidupan kedepannya,
karena apabila gagal berencana sama dengan merencanakan gagal.
Mulai dari
sekarang satu dari diri kita sampaikan pesan “jadilah remaja hebat dengan
menjunjung adat budaya” kepada tiga orang disekitar kita, dan dari ketiga orang
tersebut amanahkan sampaikan pesan ini
ketiga orang lainnya, dan dari ketiga orang lain tersebut sampaikan lagi untuk
menyampaikan pesan ini ketiga orang lain lagi dan begitu seterusnya. Dengan
sedemikian pesan kita akan meluas dan sampai penjuru negeri dan jadilah kita
penerus yang mampu menjaga mental dan jati diri bangsa dan membawa perubahan
kearah lebih baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar