Langit bumi Indonesia saat ini masih saja kelabu. Bukan
karena cuaca dalam kesehariannya. Tapi kali ini aku memikirkan bagaimana nasib
bangsa kesayanganku kedepannya. Jujur kukatakan, aku sangat cinta Indonesia.
Bersedia rasanya aku mati disini setelah aku dilahirkan 20 tahun lalu disini
oleh ibunda tercinta. Tapi ada yang ku khawatirkan, akankah aku dibuang oleh
negeriku?
Tentu semua orang masih ingat tragedi 1998 merupakan puncak
pergolakan yang paling menyeramkan sepanjang sejarah. Bayangkan saja, kurs dolar
yang merangkak naik terus menerus bahkan membuat kriminalitas dimana-mana tidak
bisa terelakkan. Pertumpahan darah membutakan mata hati seolah-olah setiap dari
kita harus di dengar. Wajar saja, bukan salah bangsa Indonesia, ini kesalahan
fatal pemimpin bangsa Indonesia. Tapi bukan cerita pilu itu yang ingin aku
ulas. Indonesia kini punya tragedi lain yang lebih menyeramkan.
Belajar dari masa lalu, saatnya belajar mengenai kebebasan
demokrasi, bukan democrazy.
Seringkali aku termenung memikirkan hal ini. Indonesia kini terlalu bebas
kawan. Terlalu frontal untuk saling mencaci dan memaki. Menyalahkan satu sama
lain tanpa bukti yang jelas. Berbagai kasus mulai dari mama minta pulsa sampai
papa minta saham marak diperbincangkan semua kalangan. Terlalu banyak tingkah
dan ketebelece di bumi pertiwi ini. Memang,
ada diantara kita yang memiliki semangat untuk perubahan. Terlalu muak rasanya
untuk terus diam menyaksikan tingkah para wakil rakyat seperti anak TK yang
bertepuk tangan, memukul meja, bahkan sampai menyembunyikan palu orang lain.
Sayangnya, tak jarang orang yang berniat baik untuk
pembangunan bangsa kalah untuk bertahan di nusantara tercinta. Alangkah lucunya
negeri ini. Orang yang mati-matian berusaha membangun negeri dengan sikap jujur
dan berintegritas tinggi malah diabaikan, lalu dipungut oleh negara maju
lainnya. Sebaliknya, orang yang munafik bermuka topeng dan berperut buncit
malah di puji dan di eluk-elukkan. Semua karena sumpalan uang, sebagian dari
kita gelap mata. Tidak ada toleransi, tidak ada kompromi. Yang jujur di sapu bersih dari Indonesia ini.
Ingatkah kamu teman? Saat mendengar cerita B.J Habibie
belajar ke Jerman untuk menerapkan ilmu yang di teguknya di Indonesia. Ia
kembali dengan semangat membuatkan pesawat sebagai bukti kita bangsa yang
pintar. Pesawat yang bahkan teknologi dan kapasitasnya lebih canggih daripada
produksi negara Eropa pada masanya. Tapi ingat akhir hidupnya? Banyak alasan
sehingga produksi pesawatnya dihentikan. Berganti dengan masuknya saham
aeronautika dari negara asing hingga saat ini. Dan kini beliau dipungut kembali oleh Jerman dengan
memperoleh 24 hak paten di dunia penerbangan dunia.
Ingatkah kamu dengan kasus mobil Kiat Esemka di tahun 2006?
Mobil produksi para pemuda dalam negeri tersebut memiliki kualitas yang sejajar
dengan produk asing. Bahkan mobil tersebut sempat dipakai sebagai kendaraan
dinas oleh walikota Solo pada saat itu. Namun apa yang terjadi? Pada tahap uji
kelayakan tidak ada alasan yang jelas mengenai mobil bangsa itu. Semangat para
pemuda itu pun meredup.
Padahal
aku bangga dengan Indonesia, sang negeri makmur nan kaya. Aku terpana dengan
Indonesia, keberhasilan para Founding
Fathers dalam menyatukan Nusantara dengan susah payah. Tapi ingatkah saat
ini Indonesia dihancurkan sekejap saja? Berbanding terbalik dengan perjuangan
pahlawan selama 350 tahun sebelum Indonesia mengecap manis kemerdekaan. Akankah
Indonesia mampu berdiri sendiri? Tidak ada lagi konsumerisme produk impor yang
tinggi. Akankah Indonesia mampu bahagia? Berdiri saling bergantengan tangan
tertawa bersama. Dan jika nanti aku ingin memajukan Indonesia bersama para
pemuda lain secara jujur, akankah kami dibuang dari Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar