(Oleh : Annisa)
“Berikan aku 1000 orang tua, maka akan
kucabut Sumeru dari akarnya, berikan aku 10 pemuda, maka akan ku goncangkan
dunia” (Ir.Soekarno)
Siapa
yang tidak mengenal Indonesia? Negeri yang memiliki potensi sumber daya alam
melimpah ruah serta destinasi wisata perairan yang memesona. Indonesia yang
luar biasa indah dan disebut-sebut sebagai Atlantis yang hilang. Maka, patutlah
mengapa Indonesia menjadi primadona yang diperebutkan bangsa Spanyol, Portugis,
dan Belanda di era nenek moyang.
Namun kini apa yang
terjadi dengan Nusantara? Pesonanya seakan-akan menguap karena tingkah laku
makhluk berakal di dalamnya. Mulai dari kalangan manusia yang semakin banyak
mengerat harta kekayaan Indonesia dari tiang-tiang pondasinya, hingga keegoisan
yang kefatalannya perlahan membakar paru-paru dunia.
Sebagian besar bangsa
Indonesia lupa jerih payah nenek moyangnya. Lupa masa keemasan kerajaan maritim
Nusantara pernah menjadi yang terkuat di masanya. Seakan terhipnotis dengan
arus globalisasi, perlahan bangsa ini meninggalkan budayanya. Semuanya terseret
budaya modern yang minim etika. Gotong royong yang biasanya dilakukan di tiap
desa seminggu sekali kini juga ikut berganti dengan sikap individualis dan
materialistis.
Indonesia
sebagai Pasar
Bangsa asing tentu
bahagia melihat tragedi ini. Tidak ada secuil pun alasan bagi mereka untuk
bersedih, karena ini kesempatan untuk mengeruk kekayaan Indonesia dengan laba
yang sangat menggiurkan. Mereka juga ikut memasarkan produknya di pasar
Indonesia. Semua turut dipasarkan, mulai dari baskom hingga tongsis (tongkat
narsis-red) untuk memenuhi hasrat
menikmati tren anak muda dalam ber-selfie.
Semua hal itu terus dilakukan sembari berjaga-jaga memantau apakah bangsa ini
sadar ia sedang dibodohi. Mereka takut jika bangsa ini sadar dan membuat apa
yang diperlukannya sendiri. Tentu mereka akan rugi besar jika pasarnya hilang. Oleh
karena itu berbagai siasat dijalankan, mulai dari cicilan ringan hingga promo
besar-besaran.
Strategi yang
diterapkan oleh bangsa asing bertujuan membuat bangsa Indonesia semakin gelap
mata. Kita terlalu terfokus pada budaya dan gaya baru sehingga lupa indahnya karya
Indonesia. Semuanya seakan berlomba untuk tidak ingin dikatakan kudet (kurang update-red) oleh sesamanya. Semua mulai terserang dua penyakit jiwa:
konsumerisme dan shopaholic akut. Dua
penyakit itu jika dibiarkan akan semakin membuat Indonesia sulit menjadi negara
maju.
Konsumerisme adalah
paham atau ideologi yang menjadikan seseorang atau kelompok melakukan proses
konsumsi atau pemakaian barang-barang produksi secara berlebihan. Ini justru
sangat merugikan, terlebih saat orang-orang bukan membeli produk dalam negeri,
melainkan produk impor. Kita seakan bangga saat mengenakan tas branded asal Perancis, memiliki kotak
makanan asal Amerika, bahkan memakan coklat hazelnut buatan negeri tetangga.
Dan secara tidak langsung ini pasti berdampak buruk pada pengusaha Indonesia
serta memungkinkan matinya semangat berwirausaha di dalam diri para generasi muda.
Sementara shopaholic adalah kebiasaan seseorang
dalam berbelanja secara berlebihan. Bagi para shopaholic akut, mereka akan membeli barang apa pun walaupun tidak
terlalu dibutuhkan, terutama saat barang yang dijual sedang diskon atau promo
besar-besaran. Penyakit ini kebanyakan mengidap pada sebagian besar wanita di
Indonesia. Mereka sanggup menghabiskan banyak waktu di mall-mall untuk hal itu.
Dua penyakit akut
itupun menjadi dasar dispesialkannya Indonesia sebagai target pasar bagi bangsa
asing. Contohnya saja terbukti pada 13 Maret 2014 lalu, dimana perusahaan handphone BlackBerry meluncurkan edisi
khusus BlackBerry Z3 (Jakarta Edition).
CEO BlackBerry, John Chen, juga mengakui bahwa Indonesia adalah pasar terbesar.
Ini membuat BlackBerry memproduksikan handphone
khusus yang terinspirasi dari Indonesia, pasar yang besar dan ibu kotanya
dengan perkembangan ekonomi tercepat. Produk yang mulai dipasarkan khusus di
Indonesia pada 15 Mei ini juga dibanderol dengan harga yang terjangkau. Hasilnya?
Mustahil jika tidak laku keras.
Ironi
Indonesia
Berbeda yang terjadi
dengan B.J Habibie pada pesawat N 250-nya. Sosok yang sangat mengabdi pada
Indonesia ini membuktikan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang mampu dalam
tekhnologi yang ditunjukkan dengan penerbangan perdana pesawat tersebut pada 10
Agustus 1995. Kala itu, pesawat tersebut diyakini akan laris manis di industri
penerbangan, mengingat belum ada pesawat dengan kelas serupa. Namun apa yang
terjadi? Pada krisis 1998, dari 150 BUMN yang ada, hanya 1 BUMN yang dikenakan
keputusan IMF (International Monetary
Fund) untuk dihentikan proyeknya, yaitu PT. Dirgantara Indonesia dan
pesawat kebanggaan Indonesia, N 250. Hal ini pun membuat N 250 tergeser oleh “adik
kelasnya”, ATR 72 asal Prancis yang laku keras hingga 1500 unit.
16 tahun kemudian,
tepatnya pada awal tahun 2012 Indonesia di semangatkan kembali dengan hadirnya
mobil Kiat Esemka yang dirakit oleh siswa SMK 2 dan SMK Warga Surakarta. Mobil
ini digunakan oleh Wali kota Solo pada masa itu, Joko Widodo sebagai
transportasi dinasnya. Tak perlu waktu lama, Jokowi pun mengajukan uji
kelayakan mobil tersebut pada pemerintah pusat. Pada 27 Februari 2012 mobil ini
mengikuti berbagai tes di Balai Thermodinamika Motor dan Propulsi (BTMP)
Serpong, Tangerang. Berbagai uji dilakukan mulai dari mutu hingga pengesahan
rancang bangun dan rekayasa. Dan hasilnya? Untuk kedua kalinya, Bangsa
Indonesia dibuat kecewa karena Kepala Pusat Komunikasi Kementerian Perhubungan pada
maa itu, Bambang S. Ervan menyatakan bahwa mobil Kiat Esemka tidak memenuhi
standar yang ditetapkan dengan dalih gagal lulus uji emisi. Ya, mungkin alasan
kekalahan mobil tipe SUV (mobil keluarga-red)
itu karena ia dihadapkan pada industri raksasa otomotif di Indonesia.
Namun apakah kini kita
harus berhenti untuk kembali membangun? Tentu tidak. Hal ini menjadi cubitan
kecil bagi kita untuk bangun dari tidur panjang dan bangkit bersama membangun
bangsa. Apapun rintangannya, kita harus menghadapinya bersama. Bukankah lidi yang
banyak akan lebih mudah untuk menyapu sampah daripada sebatang lidi saja? Hal
yang wajib kita ubah adalah pola perilaku bangsa yang berpendidikan tinggi. Buka
mata hati kita, tumbuhkan lagi sikap sederhana, dan basmi perlahan penyakit
konsumerisme dan shopaholic akut. Jika
mampu meng-handle semua permasalahan
dengan baik dan kompak, Indonesia dapat menjadi saingan berat negara maju
lainnya. Bersemangatlah! Dunia menunggu generasi emas Indonesia. Saatnya menjadi generasi yang berencana!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar